Mau numpang post cerita ya :)
-----------------------------------
"...putus," samar-samar aku mendengar kata itu dari mulut cowokku, Ray.
Aku yang tadinya sibuk membalas sms temanku, langsung menatapnya.
Sungguh, hubungan kami sedang baik-baiknya dan kami juga sedang sibuk prepare ujian akhir.
"Kenapa?" tanyaku, nggak ngerti.
"Kamu nggak ngehargain aku sebagai cowokmu," ucap Ray.
Aku masih nggak mengerti, "Maksudnya? Kamu itu cowokku, Ray, satu-satunya. Ada apa, sih?"
"Yaa kamu itu egois, nggak ngehargain aku sebagai cowokmu, Afi. Kita putus aja,"
Agak lama aku terdiam. Bukan, Ray sedang bohong. Bukan ini alasan sebenarnya.
"Sudahlah jujur saja, ada apa? Kamu mau serius ujian dulu?" tanyaku lagi.
Ray menghela nafas, "sudah pokoknya aku mau putus saja."
"Hmm, terus balikan lagi ya abis ujian. Aku tahu kamu mau serius ujian dulu, kan?" aku tersenyum tipis.
Ray tercenung lalu menggeleng, "Mungkin nggak bisa balik. Maaf. Sudah ya," dia lalu beranjak pergi.
Aku menatap punggungnya yang menjauh, tetap nggak ngerti apa maunya. Dia berbohong atas alasannya memutuskan aku, aku tahu itu, terbaca jelas di matanya. Dan lagi, dia bilang nggak mungkin balik? Mataku berkaca-kaca tapi aku tidak mau menangisi cowok karena diputusin tidak jelas begini. Tidak..
---
Sudah dua minggu setelah itu. Aku mencoba membicarakannya tapi dia menghindar. Aku dan Ray sebenarnya sekelas. Tapi kami beda ruangan kalau try out atau ulangan semester. Jadi selama dua minggu yang penuh try out itu lah, kami jarang bertemu.
"Hai, Fi," sapa Ardi, sahabatku di kelas.
Aku tersenyum, "Hei, udah siap try out matematika?"
"Oh siap dong! Eh, Fi, mau tanya sesuatu nih," kata Ardi
"Ya?"
"Kamu.. ng.. udah putus ya?"
Aku terdiam sebentar, "Begitulah,"
"Ooh. Padahal sudah dua tahun. Kenapa?"
"Dia yang minta, aku juga nggak ngerti."
"Memang sudah seharusnya dia nggak nyakitin kamu. Syukurlah akhirnya putus ya, Fi?" kata Ardi
"Hah?"
"Eh, enggak. Sudah ya, mau bel, tuh." dia berlari ke ruangannya-seruangan dengan Ray.
Aku mengedikkan bahu, bingung. Lalu berjalan masuk ke ruangan try outku.
---
Argh! Sudah jam lima! Adjeng-adikku, tadi berpesan padaku untuk menjemputnya di sekolah setelah ekskul basketnya selesai. Kenapa bisa lupa dan malah berleyeh-leyeh membaca komik?
..
Setelah memarkir motor di parking area sekolah, aku berjalan masuk ke sekolah. Suasananya memang berbeda kalau ditemani senja begini. Dengan nyaman aku duduk di bangku dekat lapangan sembari menunggu Adjeng yang masih latihan.
Deg. Sebentar.. Aku seperti melihat Ray di seberang lapangan. Aduh, karena mataku minus, aku jadi kurang jelas kalau melihat yang jauh-jauh begitu. Tapi kok, sama cewek? Ah, mungkin bukan Ray, ya? Aku membuat kesimpulan sendiri. Tapi penasaran, deh. Siapa ya?
Dengan pelan, aku menyusuri langkah di lorong. Pura-pura ke mau ke toilet yang tempatnya dekat dengan cowok-cewek itu. Nah, nah. Benar, itu jaketnya Ray yang dipakai si cowok! Dan... Ah... Iya, itu Ray... Bersama Dyna-teman kelas sebelah.
Ray menoleh mendengar langkah kakiku. Lalu melongo, yah mungkin kaget dengan kehadiranku?
"Eh, hai, Ray." aku menyapa, agak nggak nerima saja melihat mereka berdua.
Ray tidak menjawab. Dyna juga salah tingkah. Ada apa? Menurutku mereka memang dekat dari dulu walau kadang bikin cemburu sih. Lalu kenapa bersikap seakan ada sesuatu? Apa mungkin..
Plok! "Mbak, pulang yuk." Adjeng tiba-tiba sudah ada di belakangku.
"Yuk," kataku lalu menoleh ke arah Ray dan Dyna, "Duluan ya?" pamitku, masih getir melihat mereka berdua. Sudahlah..
Adjeng tiba-tiba heboh, "Eh, jadi pacar Mbak Dyna itu Mas Ray? Bukannya sudah ng.. empat bulan yang lalu bilang punya pacar ke aku? Jadi artinya..." dia baru sadar sesuatu, dan menoleh ke arahku yang melongo mendengar perkataannya.
Jadi benar begitu? Aku hampir menangis.
"Ayo, Mbak, kita pulang. Lupakan Mas Playboy itu!" Adjeng menarikku yang masih saja melongo.
--
Aku sampai di sekolah esoknya dengan mata bengkak. Sudah pasti aku menangis. Entah berapa jam lamanya, lalu capek dan tidur. Di kelas sudah ada Ardi, sahabatku.
"Matamu bengkak ih," ejek Ardi. Aku tersenyum jengah.
Aku lalu duduk di bangku belakangnya, "Nangis semaleman, Di." kataku.
"Akhirnya ketahuan ya? Sudahlah Fi, Ray memang brengsek." kata Ardi.
"Sudah berapa banyak yang tahu mereka pacaran diam-diam?"
"Semua anak di kelas juga tahu, Fi. Kamu saja yang selalu positif mikirnya." Ardi meringis.
Ah... Aku yang terakhir tahu. "Uhm," aku terdiam.
Terdengar langkah yang masuk. Ray!
"Pagi Ray," Ardi menyapa
Ray tidak menjawab, tapi berjalan ke arahku. Aduh.
"Fi, aku mau ngomong sebentar." kata Ray.
"Silakan," aku tidak berani menatap matanya, entah kenapa.
"Silakan," aku tidak berani menatap matanya, entah kenapa.
"Oke aku keluar dulu," Ardi beranjak pergi.
"Lalu," tanyaku, "ada apa?"
"Fi.. Maaf, bukan maksudku begitu," jelas Ray. Siapa yang peduli maksud sebenarnya? Maksudku, dia sudah memutuskan hubungan secara sepihak, dan niat dibaliknya ketahuan. So?
"Ya, sudahlah. Lagipula kita sudah tidak ada hubungan apa-apa, kawan," jawabku datar.
"Tolong Fi, maafin aku." pinta Ray, bukannya tersentuh-dia sampai berlutut, aku malah jengah.
"Minta maaf begini... kamu mau minta balikan lagi?" tanyaku, tidak berharap banyak sih.
Ray gelagapan, "Ng.. Nggak begitu.. Eh.. Aku.. Dyna.."
"Ray, kalau memang tidak mau melepas Dyna ya udah dong. Jangan bikin aku berharap lagi. Aku nggak marah Ray. Sudah ya? Anggap semuanya selesai." Aku berdiri, lalu berjalan keluar (sambil menahan tangis).
--
Setelah ke toilet untuk cuci muka, aku ke kantin. Mumpung belum masuk, lagipula aku baru ingat kalau belum sarapan. Sampai sana, ternyata ada Ardi. Aku membeli nasi goreng dan duduk di bangku sebelah Ardi.
"Gimana?" tanya Ardi.
Aku menelan nasiku, "Selesai, Di. Ray kelihatannya memang menyayangi Dyna. Aku memang masih nggak ngerti kenapa dia memilih Dyna, dan berpacaran dengannya di belakangku. Tapi ya.. udah terlanjur terjadi. Mau bagaimana lagi? Lagian, aku ini bodoh ya, bisa-bisanya tahu di akhir cerita begini."
Ardi tertawa, "Iya anggap saja kamu bodoh. Tapi yang pasti sekarang kamu sudah punya pengalaman soal begini kan? Kalau besok kamu diselingkuhin lagi, jangan nangis lho, kan sudah pernah." candanya.
Kami tertawa. Aku memandangnya kagum. Semua sahabat seharusnya seperti Ardi, kan? Ada untuk kita di waktu apa pun? Ah, aku berjanji akan menjadi sahabat yang baik untuknya juga :)
0 komentar:
Posting Komentar